1.
Budaya Baca dan Menulis
Jangan
kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik),
sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku
atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di
densha untuk membaca.
Banyak
penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi
kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa,
dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.
Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan
buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb).
Konon
kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684,
seiring dibangunnya institute penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman
modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa
minggu sejak buku asingnya diterbitkan.
2. Budaya Malu
2. Budaya Malu
Malu
adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri
dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu
ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit
berubah ke fenomena mengundurkan diri bagi para pejabat (mentri, politikus,
dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek
negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena
nilainya jelek atau tidak naik kelas.
Karena
malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada
mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan.
Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun
norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
3.
Budaya Hidup Hemat
Orang
Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme
berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai
kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang
ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30.
Selidik
punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di
Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam
sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup
pada pukul 20:00.
4.
Budaya Loyalitas
Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan.
Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan.
5.
Inovasi
Jepang
bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan
orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat.
Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang
melegenda itu.
Cassete
Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip
Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable
sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita,
founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300
model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk.
Teknik
perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya
dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa
mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.
6. Pantang Menyerah
6. Pantang Menyerah
Sejarah
membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah.
Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar
negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji
ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner.
Kemiskinan
sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi
pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi
Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia.
Kabarnya
kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan
gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki , disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi
dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo . Ternyata Jepang tidak habis. Dalam
beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan
bahkan juga kereta cepat (shinkansen) .
Mungkin
cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir
tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu
merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan
bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika
menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya
melegenda dengan Sony Walkman-nya.
Yang
juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan
ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).
Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini.
7. Kerja Keras
7. Kerja Keras
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam
kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan
dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870
jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun).
Seorang
pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan
pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai
sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang
biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh
dikatakan agak memalukan di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut
termasuk yang tidak dibutuhkan oleh perusahaan.
8.
Kerjasama Kelompok
Budaya
di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat
individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim
atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus
dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah
biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu
kekuatan terbesar orang Jepang.
Ada
anekdot bahwa 1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor
Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang
professor Jepang yang berkelompok . Musyawarah mufakat atau sering disebut
dengan rin-gi adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus
dibicarakan dalam rin-gi.
9. Mandiri
9. Mandiri
Sejak
usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak Orang Indonesia yang
bekerja di Jepang yang paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di
Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan
makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang
menggantung di lehernya.
Di
Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung
jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah
hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen
seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk
biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka
meminjam uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.
10.
Jaga Tradisi & Menghormati Orang Tua
Perkembangan
teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan
budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada
dan hidup sampai saat ini.
Budaya
minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda
di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak
malah yang minta maaf duluan.
Sampai
saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata tidak untuk apabila mendapat
tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang
Jepang karena hai belum tentu ya bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi
leluhur dan aset penting di Jepang.
Persaingan
keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan
langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang
dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan,
termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia
pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
11.
Mempertahankan bahasa lokal
Ada yang menarik dari kebiasaan ini. Konon, kabarnya orang Jepang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang buruk, jadi mereka kerap berbicara dengan bahasa Jepang, sekalipun itu terhadap orang asing. Pernah pada suatu waktu, meskipun mereka tahu bahwa saya orang asing, mereka tetap menggunakan bahasa Jepang ketika memulai percakapan. Alhasil, saya hanya bisa bengong-bengong saja. Ketika saya bilang tidak mengerti, mereka tetap mencoba meyakinkan, dengan tetap menggunakan bahasa Jepang.
Ada yang menarik dari kebiasaan ini. Konon, kabarnya orang Jepang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang buruk, jadi mereka kerap berbicara dengan bahasa Jepang, sekalipun itu terhadap orang asing. Pernah pada suatu waktu, meskipun mereka tahu bahwa saya orang asing, mereka tetap menggunakan bahasa Jepang ketika memulai percakapan. Alhasil, saya hanya bisa bengong-bengong saja. Ketika saya bilang tidak mengerti, mereka tetap mencoba meyakinkan, dengan tetap menggunakan bahasa Jepang.
Begitu juga ketika di
supermarket dan tempat-tempat umum lainnya. Setiap kali orang Jepang bertanya
dan berkomunikasi, seringkali mereka menggunakan bahasa Jepang. Apa mereka
tidak tahu bahwa saya ini orang asing? Bahwa bahasa Jepang bukanlah bahasa Ibu
saya. Jadi, meskipun kepada orang asing, orang Jepang kebanyakan tetap
menggunakan bahasa lokal mereka.
Menurut yang saya amati,
orang Indonesia beda lagi. Meskipun kurang paham bahasa Inggris, tapi orang
Indo tetap berusaha berbicara bahasa Inggris kepada orang asing, meskipun itu
terbata-bata. Saya teringat ketika di Bromo dulu, pernah ada supir Elf yang
berani berbicara bahasa Inggris kepada turis. Setidaknya, kita bisa menghargai
bahasa yang mereka pergunakan. Ini menandakan bahwa orang Indonesia sangat
terbuka kepada orang asing.
Selama saya kuliah disini,
saya juga intensif mengikuti kursus bahasa Jepang (fasilitas kampus). Saya
sempat berpikir bahwa setiap orang asing (status sebagai student, entah jika
statusnya lain) yang masuk Jepang, rata-rata diajarkan bahasa Jepang. Jadi,
orang asing tersebut seperti di-”naturalisasi” dan harus bisa berbahasa Jepang.
Sedangkan di Indo, saya tidak tahu apakah setiap mahasiswa asing diberi
fasilitas juga untuk belajar bahasa Indonesia? Atau, orang Indo yang katanya
sangat ramah, jadi biarlah yang berlelah-lelah belajar bahasa Inggris?
12. Santun
Benarkah orang Indonesia itu santun-santun? Saya sangsi karena saya tidak diberi jalan saat akan menyeberang, saya ragu karena ketika jalanan macet tidak ada yang mau mengalah. Tapi, selama di Jepang, saya benar-benar merasakan kesantunan itu. Menyeberang jalan dengan rasa aman karena tahu mobil tidak akan mendahului sepeda. Mobil tidak akan mendahului sepeda motor, sepeda motor mengalah pada pesepeda, dan pesepeda takluk pada pejalan kaki. Ya, pejalan kaki adalah raja jalanan!
Benarkah orang Indonesia itu santun-santun? Saya sangsi karena saya tidak diberi jalan saat akan menyeberang, saya ragu karena ketika jalanan macet tidak ada yang mau mengalah. Tapi, selama di Jepang, saya benar-benar merasakan kesantunan itu. Menyeberang jalan dengan rasa aman karena tahu mobil tidak akan mendahului sepeda. Mobil tidak akan mendahului sepeda motor, sepeda motor mengalah pada pesepeda, dan pesepeda takluk pada pejalan kaki. Ya, pejalan kaki adalah raja jalanan!
Saya pernah ketika akan
menyebrang, ada mobil yang menunggu di depan saya. Tak tahunya, ternyata dia
menunggu saya menyeberang terlebih dulu. Tapi, karena sedang menunggu, saya
persilakan mobil itu untuk lewat duluan. Dan … orang dalam mobil itu langsung
memanggutkan kepalanya tanda sangat berterimakasih. Luar biasa kesantunan yang
saya rasakan. Bahkan, ketika saya lewat di depan orang yang sedang mencabut
rumput, orang itu mengucapkan maaf setelah saya bilang permisi. Mungkin dia
merasa telah menghalangi jalan orang lain. Entahlah, yang saya dengar hanyalah
omelan ketika ini saya lakukan di Indonesia.
Di sini, membunyikan klakson
adalah pertanda bahaya. Klakson hanya dibunyikan pada saat-saat genting, di
luar itu tidak boleh membunyikan klakson. Makanya, suasana jalanan tidak
berisik.
13. Gemar
olahraga
Ini juga membuat saya salut. Betapa tidak, saat pulang dari kampus sekitar jam 19.30 JST, saya berpapasan dengan orang Jepang yang sedang jogging. Padahal, cuaca saat itu sedang dingin dan saya pikir paling enak kalau diam di rumah. Dan, sebagai orang Indo, tentu saja saya merasa “aneh” dengan kebiasaan olahraga malam-malam ini. Masih mending jika olahraga futsal atau yang dilakukan secara tim. Tapi, kalau dilakukan sendirian dan malam-malam, rasanya “aneh”. Dan ini merupakan kebiasaan orang Jepang yang harus saya maklumi.
Ini juga membuat saya salut. Betapa tidak, saat pulang dari kampus sekitar jam 19.30 JST, saya berpapasan dengan orang Jepang yang sedang jogging. Padahal, cuaca saat itu sedang dingin dan saya pikir paling enak kalau diam di rumah. Dan, sebagai orang Indo, tentu saja saya merasa “aneh” dengan kebiasaan olahraga malam-malam ini. Masih mending jika olahraga futsal atau yang dilakukan secara tim. Tapi, kalau dilakukan sendirian dan malam-malam, rasanya “aneh”. Dan ini merupakan kebiasaan orang Jepang yang harus saya maklumi.
Dan kemana-mana, cukup banyak
juga mahasiswa Jepang yang suka memakai celana training. Entahlah, apa dia
sehabis olahraga atau tidak. Bahkan, ketika di kelas pun, ada saja yang memakai
celana training. Entah apakah ada hubungan antara celana training mereka dan
olahraga. Memang orang Jepang tidak suka jika tidak bergerak. Bahkan, orang tua
pun gemar berolahraga. Saya sering melihat para orang tua yang suka mengajak
jalan-jalan anjing mereka ke taman-taman. Maka, jangan heran jika kita bertanya
kepada mereka siapa saja anggota keluarganya, mereka akan menghitung
anjing-anjing mereka.
Dan fakta menarik, olahraga
yang paling beken di Jepang adalah baseball. Itulah mengapa, jika di
kartun-kartun, olahraga yang sering dijadikan figuran adalah baseball. Masih
ingat tayangan Doraemon? masih ingat ketika Giant selalu mengajak main baseball
kepada Nobita dan Suneo? Dan bagi orang Indonesia, baseball bukanlah hal yang
umum. Orang Indonesia lebih familiar dengan sepakbola dan badminton, benar?
Mensana in corpore sano. Di
dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Mungkin bangsa Jepang menjadi
disegani karena mereka memiliki ketangguhan SDM-nya. Dan jangan kita remehkan,
olahraga bisa menjadi titik awal. Bukankah Rasulullah saw juga telah bersabda
bahwa muslim yang kuat lebih dicintai daripada muslim yang lemah? Dan
Rasulullah saw telah mengajarkan kita berolahraga dengan memanah, berenang, dan
menunggang kuda? Jepang bukanlah negara muslim, tapi mereka paham betul akan
kesehatan jasmani ini.
14. Tidak
suka basah
Tidak suka basah dalam artian ketika sedang di kamar kecil. Setiap kamar kecil sepertinya sudah memiliki grand-design nya. Didesain dengan konsep kering dan serba otomatis. Tentu ini menyulitkan saya yang lebih terbiasa dengan toilet basah seperti di Indonesia. Dan ini juga menyulitkan bagi yang muslim, karena kita harus ber-istinja (bersuci, membasuh) dengan air. Bahkan, salah seorang sensei menanyakan apakah ada toilet kering ketika akan ke Indonesia. Mengingat kebanyakan toilet di Indonesia sifatnya basah.
Tidak suka basah dalam artian ketika sedang di kamar kecil. Setiap kamar kecil sepertinya sudah memiliki grand-design nya. Didesain dengan konsep kering dan serba otomatis. Tentu ini menyulitkan saya yang lebih terbiasa dengan toilet basah seperti di Indonesia. Dan ini juga menyulitkan bagi yang muslim, karena kita harus ber-istinja (bersuci, membasuh) dengan air. Bahkan, salah seorang sensei menanyakan apakah ada toilet kering ketika akan ke Indonesia. Mengingat kebanyakan toilet di Indonesia sifatnya basah.
Jadi, akan sangat sulit jika
kita meniatkan untuk mandi di kampus, karena toilet di tempat umum tidak
didesain untuk mandi. Bagaimana bisa mandi, lantai basah sedikit saja langsung
dikeringkan oleh janitor. Untuk berwudhu, kami biasa berwudhu dari wastafel
jika sedang di kampus. Dan jika lantai sampai basah, cepat-cepat kami
keringkan. Namun, syukurlah, lama-kelamaan kami sudah mulai terbiasa.
15. Makan
banyak tapi tetap langsing
Selama saya di Jepang, saya jaraaaaang sekali melihat orang Jepang yang gemuk. Rata-rata berbadan kurus dan proporsional. Malah menurut saya, lebih banyak yang kurus. Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan gemar olahraga di atas. Paling banter berbadan gempal, itupun bisa dihitung dengan jari.
Selama saya di Jepang, saya jaraaaaang sekali melihat orang Jepang yang gemuk. Rata-rata berbadan kurus dan proporsional. Malah menurut saya, lebih banyak yang kurus. Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan gemar olahraga di atas. Paling banter berbadan gempal, itupun bisa dihitung dengan jari.
Padahal, ketika teman saya
sedang party lab-nya, dia hanya bisa makan sampai 10 tumpuk piring sushi (1
piring 2 sushi). Sedangkan teman Jepangnya, malah sampai habis 30 piring. Tapi,
anehnya badannya tetap saja kurus. Saya tidak tahu, mungkin karena memang
makanan orang Jepang kebanyakan mengandung protein. Atau juga mungkin karena
metabolisme orang Jepang lebih baik ketimbang orang Indonesia yang sekali
makan, berat badannya langsung cepat naik. Mungkin juga masalah gaya hidup?
16. Tidak
biasa bersalaman
Awal-awal berkenalan dengan orang Jepang, saya selalu membawa kebiasaan saya sewaktu di Indonesia, yaitu menyodorkan tangan sebagai tanda membuka perkenalan (khusus sesama jenis). Tapi, ternyata sodoran tangan saya dibalas dengan anggukan kepala dan bungkukan badan. Kontan, saya pun mengikuti gerakan lawan bicara saya tersebut, dan akhirnya tidak jadi salaman.
Awal-awal berkenalan dengan orang Jepang, saya selalu membawa kebiasaan saya sewaktu di Indonesia, yaitu menyodorkan tangan sebagai tanda membuka perkenalan (khusus sesama jenis). Tapi, ternyata sodoran tangan saya dibalas dengan anggukan kepala dan bungkukan badan. Kontan, saya pun mengikuti gerakan lawan bicara saya tersebut, dan akhirnya tidak jadi salaman.
Secara umum, perkenalan biasanya selalu diiringi dengan
salaman. Tapi, di Jepang lain lagi, kita tidak perlu menyodorkan tangan. Yang
kita perlukan hanya menyebutkan nama, kemudian membungukukkan badan sembari
mengucapkan yoroshiku onegai shimasu. Kebiasaan orang Jepang yang
satu ini sangat menguntungkan umat muslim, terlebih lagi saat berhadapan dengan
orang yang bukan mahrom (boleh dinikahi).
Kalau kita di Indonesia, ketika akan salaman dengan orang
yang bukan mahrom, biasanya kita akan merapatkan telapak
tangan kita dan memposisikannya di depan dada. Dengan begitu, lawan bicara kita
akan mengerti. Namun, jika kita berhadapan dengan orang asing yang belum tahu,
kita akan kesulitan untuk menjelaskan. Dan kemungkinan akan terjadi
kesalah-pahaman jika tidak ada komunikasi yang baik. Biasanya, lawan bicara
kita akan menyodorkan tangan, lalu kita balas dengan salam “ala lebaran”.
Untuk ucapan terimakasih pun,
orang Jepang tidak biasa bersalaman. Biasanya mereka akan membungkukkan badan,
atau minimal menganggukkan kepala. Ukuran besar-kecilnya rasa terimakasih orang
Jepang bisa kita lihat dari bungkukan badannya. Semakin membungkuk tandanya ia
sangat berterimakasih. Anggukan kepala biasanya untuk ucapan terimakasih biasa.
Bedanya dengan orang
Indonesia, kalau kita merasa berterimakasih, kita akan menyalami lawan bicara
kita dengan kedua tangan. Dan kemudian biasanya langsung memeluk lawan bicara.
Tapi, sekali lagi, di Jepang lain lagi ceritanya. Jadi, sebagai pendatang, kita
mau-tidak mau akan mengikuti kebiasaan mereka, meskipun hal tersebut dianggap
kecil.
17. Budaya
mengantri
Jangan sampai kebiasaan buruk kita di Indonesia terbawa sampai ke Jepang, yaitu budaya menerabas! Orang-orang Jepang sangat loyal terhadap peraturan dan santun kepada orang lain, termasuk untuk urusan mengantri. Antri sudah menjadi budaya disiplinnya orang-orang Jepang. Kita (pendatang) sudah harus ngeh dengan budaya antri mereka, jangan sampai kita membuat malu di negeri orang.
Jangan sampai kebiasaan buruk kita di Indonesia terbawa sampai ke Jepang, yaitu budaya menerabas! Orang-orang Jepang sangat loyal terhadap peraturan dan santun kepada orang lain, termasuk untuk urusan mengantri. Antri sudah menjadi budaya disiplinnya orang-orang Jepang. Kita (pendatang) sudah harus ngeh dengan budaya antri mereka, jangan sampai kita membuat malu di negeri orang.
Beda kota, bisa berbeda juga
budaya yang dianut masyarakatnya. Di Osaka, jika sedang menggunakan eskalator,
sebaiknya gunakan sisi sebelah kanan bagi yang tidak terburu-buru dan
mempersilakan sisi kiri bagi mereka yang ingin bergegas. Sedangkan di Tokyo
(dan sebagian kota lain), jalur lambat ada di sebelah kiri dan jalur bergegas
di sebelah kanan. Hati-hati, jangan sampai kita menghalangi jalan orang lain.
Orang Jepang sendiri terlihat begitu menyesali diri jika mereka sampai
menghalangi jalan orang lain.
Cerita lain lagi, dalam suatu
perjalanan, pernah saya terjebak dalam kemacetan yang panjang. Saya pun heran,
baru kali itu saya merasakan macet sedemikian panjangnya. Saya kira di Jepang
bebas macet, kemudian saya tahu bahwa ada kecelakaan yang menjadi penyebab
kemacetan itu. Tapi, betapa elegan-nya orang-orang Jepang dalam berlalu-lintas.
Ya, mereka tetap berada dalam antrian kendaraan yang seharusnya.
Benar-benar membuat saya
kagum. Betapa tidak, saya bisa membayangkan suasana kemacetan di Indonesia yang
bising dengan suara klakson; antar pengemudi tidak ada yang mau saling
mengalah; dan perilaku mental menerabas lainnya. Tapi, lihatlah foto di atas,
sama sekali tidak ada yang menerabas dari sisi kiri; dan juga tidak ada
kebisingan klakson. Benar-benar patut kita teladani.
18.
Jari-jari huruf “V” saat dipotret
Coba Anda minta foto bersama orang Jepang, atau menyuruh mereka bergaya saat akan dipotret. Hampir selalu jari-jari mereka langsung bergaya “V” sambil menyunggingkan senyum terbaik. Saya, orang Indonesia, jadi ikut-ikutan bergaya seperti orang Jepang saat dipotret, hehe. Maklum, terkontaminasi budaya lokal.
Coba Anda minta foto bersama orang Jepang, atau menyuruh mereka bergaya saat akan dipotret. Hampir selalu jari-jari mereka langsung bergaya “V” sambil menyunggingkan senyum terbaik. Saya, orang Indonesia, jadi ikut-ikutan bergaya seperti orang Jepang saat dipotret, hehe. Maklum, terkontaminasi budaya lokal.
Tentu kita dapat dengan mudah
menebak apa maksud dari jari-jari mereka. Ya, itu perlambang “peace” –
kedamaian. Tapi, bagi orang Jepang sendiri, jari-jari “V” adalah perlambang
kebahagiaan. Jadi, jika mereka menggunakan gaya tersebut saat dipotret, itu
artinya mereka ingin menunjukkan kebahagiaannya. Bukan berarti bagi yang tidak
itu tidak bahagia, hehe..
19. Risih
duduk bersebelahan
Kebiasaan ini sebenarnya saya tahu dari sensei nihonggo. Memang, sensei saya yang satu ini sesekali suka bercerita tentang Jepang dan rupa-rupinya. Mulai dari agama yang dianut, berbelanja, tempat-tempat di Jepang, sampai kebiasaan orang Jepang sehari-hari. Waktu sensei saya bertanya, sebagai orang Indonesia, bagaimana posisi duduk yang lazim jika sedang mengobrol bersama teman.
Kebiasaan ini sebenarnya saya tahu dari sensei nihonggo. Memang, sensei saya yang satu ini sesekali suka bercerita tentang Jepang dan rupa-rupinya. Mulai dari agama yang dianut, berbelanja, tempat-tempat di Jepang, sampai kebiasaan orang Jepang sehari-hari. Waktu sensei saya bertanya, sebagai orang Indonesia, bagaimana posisi duduk yang lazim jika sedang mengobrol bersama teman.
Bagi saya, saya lebih nyaman
untuk duduk bersebelahan dengan teman saya ketika ngobrol. Saya merasa lebih
bebas dan tidak canggung. Karena dengan begitu, kita bisa menjadi lebih santai.
Justru saya merasa risih jika duduk berhadap-hadapan. Entah kenapa, rasanya
risih saja, karena dengan posisi tersebut, mata kita dipaksa untuk terus beradu
pandang.
Tapi, kebiasaan orang Jepang
lain lagi. Justru mereka risih jika duduk bersebelahan. Mereka lebih memilih
duduk berhadap-hadapan. Jika sedang ke kantin, restoran, atau perpustakaan,
saya memang tidak melihat orang Jepang yang duduk bersebelahan. Semuanya duduk
berhadap-hadapan. Jikapun ada orang yang duduk disampingnya, bisa jadi karena
keterbatasan kursi atau memang harus duduk dengan posisi seperti itu (seperti
di bis, kereta).
Jadi, jangan heran jika di
restoran, kantin, atau perpustakaan, orang Jepang rata-rata duduk
berhadap-hadapan. Pernah suatu saat, saya meminta teman Jepang saya untuk
latihan percakapan bahasa Jepang. Kemudian, kami mencari-cari tempat yang pas
hingga akhirnya kami menemukan dua bangku panjang yang berhadap-hadapan.
Sebagai orang Indo, saya tentu terbiasa untuk duduk bersebelahan. Tapi, pada
saat saya akan duduk di samping teman saya itu, saya malah diminta untuk duduk
di hadapannya. Dia langsung mempersilakan saya sembari menunjuk kursinya.
Dan saat itu, saya langsung ingat tentang cerita sensei
nihonggo saya bahwa orang Jepang lebih terbiasa duduk berhadap-hadapan
ketimbangan bersebelahan, strange katanya
ada juga nih vidio kehidupan orang Jepang
Beberapa tentang UU ITE bisa donlot PDFnya di sini UU ITE
Source by :
Source by :
0 comments:
Posting Komentar